Abu Hudzaifah memeluk Islam sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuki rumah Arqam bin Abil Arqam. Ia telah menjalani dua kali hijrah ke negeri Habasyah bersama istrinya, Suhailah binti Suhail bin ‘Amr. Hijrahnya Abu Khudzaifah ini membangkitkan kemarahan ayahnya karena hal tersebut.
Rasulullah mempersaudarakan Abu Hudzaifah dengan Abbad bin Basyar setelah hijrah. Persaudaraan ini seakan dibawa sampai mati, dimana keduanya meraih syahid bersama-sama.
Abu Hudzaifah pernah ikut dalam satu pasukan yang melakukan peperangan pada bulan suci Muharram, yang dipimpin Abdullah bin Jahsy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah karenanya. Akan tetapi, turun ayat al-Qur an yang menyatakan:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram (suci). Katakanlah, Berperang pada hari ini adalah dosa besar, tetapi menghalangi [manusia] darii jalan Allah, kafir kepada Allah, [menghalangi masuk] Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar [dosanya] di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai kalian dapat dikembalikan oleh mereka dari agama kalian [kepada kekafiran] seandainya mereka mampu.” (QS. Al-Baqarah: 217)
Abu Khudaifah juga ikut serta dalam perang Badar. Dalam peperangan ini, ia berhadapan dengan Utbah bin Rabi’ah, ayahnya sendiri. Tatkala ia melihat tubuh ayahnya yang dibuang di sebuah sumur bersama orang-orang musyrik lainnya, maka nampaklah kesedihan di wajahnya. Menyaksikan hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Hudzaifah, “Wahai Abu Hudzaifah, nampaknya engkau sedih atas keadaan yang menimpa ayahmu?” Abu Hudzaifah menjawab, “Tidak, Wahai Rasulullah, aku tidak bimbang tentang ayahku dan kematiannya, hanya saja aku pernah menyampaikan kepadanya tentang pandangan yang benar dan keutamaan, sehingga aku berharap Allah memberinya hidayah kepada Islam.”
la tidak merasa sedih ketika menyaksikan ayahnya, pamannya, dan saudaranya terbunuh dan tidak pula menaruh dendam kepada Hamzah atau Ali yang telah membunuh mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, maupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (QS. Al-Mujadilah: 22)
Abu Hudzaifah keluar bersama saudaranya Abbad bin Basyar menuju peperangan Yamamah: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)
Pada peristiwa Badar, Abu Hudzaifah mendengarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Barangsiapa di antara kalian menjumpai Abbas bin Abdul Muthallib, janganlah ia membunuhnya karena ia ikut berperang bersama orang-orang musyrik dalam keadaan terpaksa.” Lalu ia berkata, “Kami keluar untuk membunuh ayah-ayah kami, saudara-saudara kami, dan juga keluarga-keluarga kami dan tidak untuk membunuh Abbas. Demi Allah, sekiranya aku menjumpainya, niacaya aku tebas ia dengan pedang.” Namun, kemudian ia menyesali kata-katanya. Dan ia tidak menenukan di sana selain tebusan kata-katanya; kematian sebagai syahid. Semoga Allah meridhai Abu Hudzaifah.

Leave a comment