Namanya adalah Uwaimir bin Malik al-Khazraji, lebih dikenal dengan nama Abu Darda. Beliau dikenal sebagai filosof yang bijak. Tentang kebijaksanaannya ini, dia pernah berkata, “Maukah kalian aku beritahukan tentang sebaik-baik amal, paling bersihnya di sisi Tuhan, paling besar keberuntungannya dalam derajat, lebih baik daripada kalian memerangi musuh lalu kalian saling membunuh, dan lebih bernilai pula daripada dirham dan dinar?” Orang-orang bertanya, “Apakah itu, wahai Abu Darda? Abu Darda ra. berkata, ”Yaitu dzikrullah dan sungguh dzikrullah itu benar-benar amalan yang paling agung.”
Sebelum masuk Islam, Abu Darda’ adalah seorang pedagang musyrik. Pagi-pagi sekali dia bangun dan menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yg paling istimewa di dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut kemudian diminyakinya dgn wangi-wangian termahal yg terdapat dalam tokonya yg besar sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera yg megah yg diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yg datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya. Setelah matahari agak tinggi barulah Abu Darda masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya. Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi ramai penuh sesak dgn para pengikut Nabi Muhammad yg baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda mendekati keramaian dan bertemu dgn seorang pemuda suku Khazraj. Abu Darda menanyakan kepadanya keberdaan Abdullah bin Rawahah. Pemuda Khazraj tersebut menjawab dgn hati-hati pertanyaan Abu Darda krn dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda dgn Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adl dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam sedangkan Abu Darda tetap dalam kemusyrikan. Tetapi hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan keduanya menjadi putus. Karena Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda sewaktu-waktu utk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda krn umurnya dihapiskan dalam kemusyrikan. Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila di atas kursi sibuk jual beli dan mengatur para pelayan. Sementara itu Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu Darda di halaman rumahnya.”Assalamu’alaiki ya amatallah” kata Abdullah memberi salam.”Wa’alaikassalam ya akha Abi Darda’” jawab Ummu Darda.”Ke mana Abu Darda?” tanya Abdullah.”Dia ke toko tetapi tidak lama lagi dia akan pulang” jawab Ummu Darda.”Bolehkah saya masuk?” tanya Abdullah.”Dengan segala senang hati silakan!” jawab Ummu Darda. Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah kemudian dia masuk ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yg sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya “Ketahuilah tiap yg disembah selain Allah adl batil!” Setelah selesai menghancurkan patung tersebut dia pergi meninggalkan rumah. Ummu Darda masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia ketika dilihatnya petung telah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda meratap menampar-nampar kedua pipinya seraya berkata “Engkau celakan saya hai Ibnu Rawahah.” Tidak berapa lama kemudian Abu Darda pulang dari toko. Ia mendapati istrinya sedang duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.”Mengapa engkau menangis?” tanya Abu Darda.”Teman Anda Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri” jawab Ummu Darda. Abu Darda menengok ke kamar patung dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi setelah kemarahannya berangsur padam dia memikirkan kembali apa yg sudah terjadi. Kemudian katanya “Seandainya patung itu benar Tuhan tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Maka ditinggalkannya patung yg menyesatkan itu lalu dia pergi mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama dgn Abdullah dia pergi kepada Rasulullah saw. dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau. Sejak detik pertama Abu Darda iman dgn Allah dan Rasul-Nya dia iman dgn sebenar-benar iman.

Suatu hari, ibunya bertanya kepadanya tentang aktifitas yang paling disukainya, Abu Darda menjawab, “Tafakkur dan mengambil pelajaran,” karena ia menyadari benar firman Allah, ”Maka, ambillah pelajaran, wahai para pemilik akal.” Ia begitu memahami kedalaman makna sabda Rasulullah SAW, “Merenung sesaat adalah lebih baik dari pada ibadah satu malam.”
Sebelumnya, Abdu Darda termasuk pedagang yang terbilang sukses. Namun, setelah itu, ia meninggalkan aktifitas berdagangnya dengan alasan mengganggu ibadah. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, “Aku tidak mengatakan bahwa Allah mengharamkan jual-beli, tetapi aku ingin menjadi bagian dari orang-orang yang tidak disibukkan oleh perniagaan dan tidak pula jual-beli dari mengingat Allah.”
Abu Darda sangat menyukai kesederhanaan, sesuatu yang sering diajarkan oleh Rasulullah SAW, “Sedikit tetapi mencukupi jauh lebih baik dari pada banyak tetapi melalaikan.” (HR. Ibnu Majah) Ia selalu mengucapkan doa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari bercabang-cabangnya hati.” Lalu ia ditanya, “Apa yang dimaksud bercabang-cabangnya hati?” Ia menjawab, “Yaitu di setiap lembah aku memiliki harta.” Ia juga berpesan kepada orang-orang, “Janganlah kalian makan, kecuali yang baik, jangan mencari sesuatu, kecuali yang baik, dan janganlah memasuki rumah kalian selain orang yang baik.”
Abu Darda juga seorang yang zahid. Pernah oada saat pasukan Muslimin mendapatkan ghanimah berlimpah setelah menaklukkan Cyprus, Abu Darda menangis. Ketika ditanya apa yang membuatnya menangis, ia menjawab, “Celaka, betapa beraninya hamba kepada Allah apabila mereka meninggalkan perintah-Nya (terlena dalam ghanimah) pada saat bangsa yang kuat dan perkasa karena mengabaikan perintah-Nya binasa seperti kalian saksikan saat ini.” la menyampaikan bahwa sebab-sebab kekalahan bangsa-bangsa dan negara-negara di tangan kaum Muslimin ialah kekerdilan ruhani serta tidak berpegangnya mereka kepada agama yang benar yang Allah ajarkan kepada mereka, dan ia takutkan kalau hal itu akan menimpa kaum Muslimin.
Saat berada di ambang kematian dengan berbaring di atas tikar yang kasar, rekan-rekannya datang menjenguknya. Mereka berkata, “Kalau engkau berkenan, ada kasur yang lebih empuk dan lebih nyaman.” Abu Darda menjawab, “Rumah kita di akhirat. Untuknya kita mengumpulkan bekal dan kepadanya kita kembali.”
Di antara bukti kesederhanaan dan kezahidannya adalah, Abu Darda pernah menolak Yazid bin Mu’awiyah yang melamar putrinya. Dia justru menikahkan putrinya itu dengan seorang pemuda Muslim yang fakir. Orang-orang mempertanyakan tindakan Abu Darda ini: “Bagaimana prasangka kalian terhadap Abu Darda jika putrinya dilayani para pelayan dan punggawa-punggawa dan disilaukan oleh indah serta gemerlapnya istana. Di manakah agamanya pada saat itu?” Abu Darda menjawab selentingan itu: “Kebaikan sejati bukanlah memperbanyak harta dan keturunan, tetapi agungnya kesantunan, banyaknya ilmu, serta terbebas dari manusia dalam beribadah kepada Allah.”
Abu Darda senantiasa berdzikir mengingat Allah. Dia berkata, “Carilah kebaikan pada semua waktu kalian dan gapailah rahmat Allah yang bertaburan. Karena, sesungguhnya Allah memiliki rahmat yang amat luas, mengaruniakannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya. Dan mintalah kepada Allah agar menutupi aib kalian serta menenangkan kegelisahan kalian.”
Dia memiliki kasih sayang dan kelembutan seorang pendidik. Suatu hari, ia menjumpai seseorang yang berbuat dosa sehingga banyak orang mencaci-makinya. Ia segera menegur mereka seraya berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika melihat orang ini terperosok ke dalam lubang, bukankah kalian berusaha menyelamatkannya?” Dengan serentak orang-orang itu menjawab, “Tentu.” Lalu Abu Darda berkata. “Karenanya, janganlah kalian mencaci-maki dirinya. Pujilah Allah yang telah melindungi kalian dari perbuatannya.” Mereka berkata, “Tidakkah kita harus membencinya?” Abu Darda menukas. “Yang harus kita benci adalah perbuatannya, bukan orangnya. Karena, bila ia telah meninggalkan perbuatan buruknya itu, ia adalah saudara kita.”
Abu Darda adalah seorang yang sangat rendah diri (tawadhu’). Bila diminta untuk berdoa, ia akan berkata, “Aku tidak dapat berenang dengan balk. Aku khawatir nanti tenggelam.”

Leave a comment